INFOSEMUA.com – Saudagar Rumpun Melayu (SRM) Provinsi Kepulauan Riau marah atas Tindakan BP Batam yang mencabut alokasi lahan serta merobohkan hotel Pura Jaya milik PT Dani Tasha Lestari.
Para tokoh Melayu di Provinsi Kepulauan Riau mendesak BP Batam mengembalikan alokasi lahan serta pelaku perobohan hotel mengganti semua biaya pembangunan gedung itu.
Perlakuan BP Batam itu, menurut pengurus SRM Kepri, merupakan Tindakan zolim dan sewenang-wenang. Akibatnya, iklim investasi di Batam dan Kepri terganggu, dan sudah semestinya pemerintah pusat turun tangan menyelesaikan masalah itu, untuk mengembalikan kepercayaan investor dan kepastian hukum.
“Di bumi Melayu ini tidak pernah ada tindakan zolim seperti yang terjadi pada Sdr Rury Afriansyah dan perusahaannya PT Dani Tasha Lestari sebagai pemilik hotel Pura Jaya. Bersama ini kami juga meminta Lembaga Adat Melayu sebagai induk organisasi SRM, turut bersama-sama meminta dengan cara baik-baik, agar BP Batam mengembalikan alokasi lahan serta mengganti segala kerugian Pura Jaya,” kata Ketua Umum Saudagar Rumpun Melayu Provinsi Kepulauan Riau, Rida K Liamsi, dalam pertemuan antar anggota SRM, di Tanjungpinang, Kamis (14/11).
Kemarahan para saudagar Melayu itu dituangkan dalam empat Ijtihad SRM Provinsi Kepulauan Riau. Mereka antara lain: (1) Datok Sri Lela Budaya H. Rida K. Liamsi sebagai Ketua Umum; (2) Datok Wira H. Zulkamirullah sebagai Wakil Ketua Umum; (3) Datok Suzarlisoot sebagai Ketua Bidang Koperasi; (4) Datok Wira Teja Alhabd sebagai Ketua Bidang Ekonomi Dalam Negeri; (5) Abdul Haji sebagai Ketua Bidang Wilayah; dan (6) Datok Zamzami Al.Karim sebagai Ketua Bidang Ekonomi Luar Negeri.
Berikut 4 (empat) pernyataan para saudara Melayu secara lengkap:
Pertama: Keprihatinan terhadap kasus yang menimpa Sdr Megat Rury Afriansyah yang juga sebagai Ketua Wilayah SRM Kota Batam, dan perusahaan yang dipimpinnya PT Dani Tasha Lestari pemilik hotel Pura Jaya atas pencabutan alokasi lahan seluas 10 hektar dan seluas 20 hektar serta perobohan gedung hotel Pura Jaya di kawasan Nongsa, Kota Batam, sebagai tindakan ZOLIM dan SEWENANG-WENANG.
Kedua: Mendukung Sdr Megat Rury Afriansyah dalam menempuh upaya hukum untuk mengembalikan hak-haknya berupa pengembalian atau pembatalan pencabutan alokasi lahan 20 hektar dan 10 hektar oleh BP Batam, serta ganti segala kerugian atas biaya bangunan yang telah dirobohkan oleh pihak yang merobohkan Gedung tersebut.
Ketiga: Meminta kepada apparat penegak hukum, baik Kepolisian, Kejaksaan, maupun jajaran kehakiman, untuk memberi keadilan yang se-adil-adilnya dalam kasus yang menimpa perusahaan milik Sdr Megat Rury Afriansyah. Mengingat perusahaan tersebut telah memberi andil yang besar dalam kemajuan industry di Kota Batam, serta ikut memperjuangkan berdirinya Provinsi Kepulauan Riau.
Keempat: Meminta agar Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Kepulauan Riau memberi dukungan sepenuhnya kepada Sdr Megat Rury Afriansyah, mengingat Lembaga SRM merupakan organisasi sayap LAM Provinsi Kepulauan Riau.
Sebelumnya diberitakan, perusahaan pengelola Hotel Pura Jaya bersiap mengungkap dugaan praktik mafia lahan di BP Batam yang merugikan perusahaannya serta para investor lain di Pulau Batam. Direktur Utama PT Dani Tasha Lestari (DTL), Rury Afriansyah, menuding pengaturan alokasi lahan yang mencabut lahannya telah menguntungkan perusahaan lain, dan akan membawa bukti-bukti terkait ke Komisi III dan Komisi VI DPR RI.
“Kami sedang mempersiapkan laporan lengkap untuk diserahkan kepada DPR, yang membuktikan bahwa lahan kami dialokasikan kepada perusahaan lain,” ujar Rury.
Menurutnya, BP Batam melakukan tindakan yang dianggapnya tidak sesuai hukum ketika PT DTL mengajukan perpanjangan alokasi lahan. Ia menyebut alasan BP Batam soal ketidak-setujuan terhadap business plan sebagai dalih semata untuk mencabut hak lahan perusahaan.
Dalam dokumen yang dimiliki PT DTL, BP Batam menginformasikan masa alokasi lahan seluas 10 hektare berakhir pada 20 Agustus 2019. PT DTL pun segera mengajukan perpanjangan UWTO pada 29 Agustus 2019. Tetapi usai memaparkan rencana kegiatan (business plan) dipresentasikan, pimpinan BP Batam yang kemudian berganti menjadi Wali Kota Batam Ex Officio Kepala BP Batam pada akhir September 2019, perpanjangan lahan kemudian ditolak oleh BP Batam.
“Kami menduga adanya upaya menjual lahan kami ke pihak lain dengan alasan yang dibuat-buat,” kata Ruri. Bukti adanya komunikasi antara Wali Kota Batam Ex Officio Kepala BP Batam dengan perusahaan yang berminat di lokasi Pura Jaya, telah ditemukan untuk dibawa ke dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI yang akan dilaksanakan secepatnya.
Sementara itu, kuasa hukum PT DTL, Eko Nuriansyah, menambahkan bahwa pihaknya tengah memproses laporan pidana terkait penghancuran gedung hotel Pura Jaya di Polda Kepulauan Riau. Eko mengungkapkan, pihaknya menemukan indikasi keterlibatan Kepala BP Batam dan instansi lain dalam penghancuran gedung hotel itu.
“Mafia lahan di BP Batam diduga melibatkan pimpinan BP Batam dan instansi terkait. Kami akan membuka bukti komunikasi intens antara BP Batam dengan pengusaha lain sebelum pencabutan lahan dilakukan,” terang Eko.(tim_red).